ekonomi dan keadilan

| Jumat, 05 April 2013



“ EKONOMI DAN KEADILAN“


Antara ekonomi dan keadilan terjalin hubungan yang erat, karenanya keduanya berasal dari sumber yang sama. Sumber itu adalah masalah kelangkaan. Ekonomi timbul karena ketebatasan sumber daya. Barang yang tersedia selalu langka dank arena itu kita akan mencarikan untuk membagikannya atau mendistriusikannya dengan paling baik. Barang yang tersedia dalam keadaan melimpah ruah tidak mungkin akan muncul masalah ekonomi karena barang itu tidak akan diperjual belikan dan akibatnya tidak akan diberikan harga ekonomi sebagai ilmu yang akan didefinisikan sebagai berikut. “Ekonomi adalah studi tentang cara bagaimana masyarakat menggunakan sumber daya yang langka untuk memproduksikan komoditas-komoditasnya yang berharga dan mendistribusikannya antara orang-orang yang berbeda Ekonom dan politikus dari Belgia Mark Eyskens, menyajikan definisi yang senada ; ilmu ekonomi tak lain adalah refleksi tentang cara manusia menggunakan dengan optimal sarana-sarana yang mengemukakan lebih banyak definisi.
Seandainya tidak ada kelangkaan, tidak akan ada ekonomi. Tetapi hal yang sama dapat dikatakan juga tentang keadilan (atau sekurang-kurangnya tentang tipe keadilan yang paling penting yaitu keadilan tributif); Selama barang yang tersedia dalam keadaan yang melimpah tidak bisa memunculkan masalah keadilan. Masalah keadilan atau ketidakadilan baru muncul jika tidak bersedia barang cukup bagi semua orang yang akan menginginkannya. Adil tidaknya suatu keadaan selalu terkait juga dengan kelangkaan. Tetapi untuk menyadari pentingnya keadilan (dan ekonomi) dalam situasi dunia yang sekarang. Perlu kita ingat bahwa hampir tidak ada lagi barang yang tidak langka.


Hakikat Keadilan
Definisi sederhana yang ada pada zaman Kekaisaran Roma karena pada zaman ini orang-orang Roma kuno terkenal dalam hal menciptakan suatu sistem hukum yang bagus (Ius Romanum) yang masih dikagumi dan dipelajari hingga saat ini, bukan saja oleh para sejarawan tetapi juga oleh para ahli hukum. Pengarang Roma, Ulpianus yang dalam hal ini mengutip orang yang bernama Celsus, menggambarkan keadilan dengan singkat sekali sebagai: “tribuere cuique suum”, atau dalam bahasa Indonesia: “memberikan kepada seseorang yang dia empunya”. Dan bagi kita, titik tolak untuk refleksi tentang keadilan memang sebaiknya menjadi demikian: keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.
Ada tiga ciri khas yang selalu menandai keadilan:
1.      keadilan tertuju pada orang lain atau keadilan selalu ditandai other-directedness (J. Finnis). Mustahillah saya berlaku adil(atau tidak adil) terhadap diri saya sendiri. Kalau orang berbicara tentang keadilan atau ketidak adilan terhadap dirinya sendiri, ia hanya menggunakan kata itu dalam arti kiasan, bukan arti sesungguhnya. Masalah keadilan atau ketidak adilan hanya bisa timbul dalam konteks antar-manusia. Bila pada suatu saat hanya tinggal satu manusia lagi dibumi ini, masalah keadilan atau ketidak adilan sudah tidak berperan lagi.
2.      keadilan harus ditegakkan atau dilaksanakan. Sehingga keadilan mengikat kita dan kita mempunyai kewajiban untuk menegakkan dan melaksanakan keadilan tersebut. Ciri kedua ini disebabkan karena keadilan selalu berkaitan dengan hak yang harus dipenuhi. Bila ciri pertama tadi menyatakan bahwa dalam konteks keadilan kita selalu berurusan dengan hak orang lain, maksudnya kita bisa memberikan sesuatu kepada orang lain karena rupa-rupa alasan. Kalau kita memberikan sesuatu karena alasan keadilan, kita selalu harus atau wajib memberikannya. Sedangkan kalau kita memberikan sesuatu karena alasan lain, kita tidak wajib memberikannya. Misalnya kita memberikan minum kepada tamu untuk menghormati dia, kita tidak wajib memberikannya. Namun bila kita memberikan sesuatu karena alasan keadilan, kita harus memberikannya. Sebagai contoh majikan harus memberikan gaji yang adil kepada karyawan.
3.      keadilan menurut persamaan (equality). Atas dasar keadilan, kita harus memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi milik haknya, tanpa kecuali. Dewi Iustitia yang memegang timbangan dalam tangannya, dalam mitologi Romawi digambarkan juga dengan matanya yang tertutup kain, sifat ini menunjukkan kepada ciri ketiga yang berarti keadilan harus dilaksanakan terhadap semua orang, tanpa melihat siapa orangnya.

Pembagian Keadilan
1.      Pembagian Klasik
Disebut pembagian klasik karena mempunyai tradisi yang panjang. Keadilan dapat dibagi atas tiga, berkaitan dengan tiga kewajiban (atau hak) yang bisa dibedakan disini. Keadilan dapat menyangkut kewajiban individu-individu terhadap masyarakat, lalu kewajiban masyarakat terhadap individu-individu dan akhirnya kewajiban antara individu-individu satu sama lain. Tiga macam keadilan ini masing-masing disebut keadilan umum, distributif dan komutatif
a.      Keadilan umum (general justice) : berdasarkan keadilan ini para anggota masyarakat diwajibkan untuk memberi kepada masyarakat (secara konkret berarti: negara) apa yang menjadi haknya. Keadilan umum ini menyajikan landasan untuk paham common good (kebaikan umum atau kebaikan bersama). Karena adanya common good, kita harus menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi.
b.      Keadilan Distributif (distributive justice) : berdasarkan keadilan ini negara (secara konkret berarti: pemerintah) harus membagi segalanya dengan cara yang sama kepada para anggota masyarakat. Dalam bahasa Indonesia bisa dipakai nama “keadilan membagi”. Diantara hal-hal yang dibagi oleh negara kepada para warga ada hal-hal yang enak untuk didapat dan ada hal-hal yang justru tidak enak kalau kena. Sebagai contoh dalam kategori pertama dapat disebut: perlindungan hukum, tanda kehormatan, tunjangan bulanan untuk veteran, dan sebagainya. Contoh untuk kategori kedua adalah kewajiban kerja bakti, ikut dalam ikut dalam siskamling, besar kecilnya beban pajak, dan sebagainya. Tidak adil bila pemimpin masyarakat mempraktekkan “pilih kasih” dalam membagi hal-hal yang enak maupun tidak enak itu. Tidak adil, bila pemerintah mengistimewakan orang-orang tertentu yang tidak mempunyai hak-hak khusus.
c.       Keadilan Komutatif (commutative justice)  : berdasarkan keadilan ini setiap orang harus memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Hal itu berlaku pada taraf individual maupun sosial. Bukan saja individu satu harus memberikan haknya kepada individu lain, melainkan juga kelompok satu kepada kelompok lain. Keadilan komutatif dilanggar antara lain dengan mencuri, tidak mengembalikan apa yang dipinjam, melukai atau membunuh seseorang. Mengapa? Karena dengan semua perbuatan itu kita mengambil apa yang menjadi hak seseorang. Misalnya, dengan membunuh seseorang kita mengambil haknya, yaitu hak atas kehidupan.                          
2.      Pembagian Pengarang Modern
Dikemukakan oleh beberapa pengarang modern tentang etika bisnis, khususnya John Broatright dan Manuel Velasquez. Mereka menandaskan bahwa pembagian itu melanjutkan pemikiran Aristoteles, diantaranya:
a.      Keadilan Distributif (Distributive Justice): Benefits and burdens, hal-hal yang enak untuk didapat maupun hal-hal yang menuntut pengorbanan, harus dibagi dengan adil.
b.      Keadilan Retributif (Retributive justice): berkaitan dengan terjadinya kesalahan. Hukuman atau denda yang diberikan kepada orang yang bersalah haruslah bersifat adil. Dan syarat yang harus dipenuhi agar hukuman dapat dinilai adil adalah (a) orang atau instansi yang dihukum harus tahu apa yang dilakukan dilakukannya dan harus dilakukannya dengan bebas. Jadi, syaratnya ialah kesengajaan dan kebebasan. (b) harus dipastikan bahwa orang yang dihukum benar-benar melakukan perbuatan yang salah dan kesalahannya harus dibuktikan dengan meyakinkan. (c) hukuman harus konsisten dan proporsional dengan pelanggaran yang dilakukan. Syarat konsistensi terpenuhi jika selalu diambil tindakan terhadap suatu pelanggaran dan jika semua pelanggar dikenakan hukumamn yang sama. Syarat proporsional terpenuhi jika hukuman atau denda yang ditetapkan tidak melebihi kerugian yang diakibatkan.
3.      Keadilan Individual dan Keadilan Sosial
Dua macam keadilan ini berbeda karena pelaksanaannya yang berbeda, pelaksanaan keadilan individual tergantung pada kemauan atau keputusan satu orang (atau bisa juga beberapa orang) saja. Dalam pelaksanaan keadilan sosial, satu orang atau beberapa orang saja tidak berdaya. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung pada struktur-struktur masyarakat di bidang sosial-ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Keadilan sosial tak terlaksana jika struktur-struktur masyarakat tidak memungkinkan. Keadilan sosial terlaksana bila hak-hak sosial terpenuhi. Keadilan individual terlaksana bila hak-hak indiviual terpenuhi. Tetapi perlu diakui keadilan individual seringkali dapat dilaksanakan dengan sempurna. Karena kompleksitas masyarakat modern, keadilan sosial tidak pernah dapat dilaksanakan dengan sempurna.


Keadilan Distributif pada Khususnya
Dalam teori etika modern, sering disebut dua macam prinsip untuk keadilan distributif :
1.      Prinsip Formal
Prinsip formal menyatakan bahwa kasus-kasus yang sama harus diperlakukan dengan cara yang sama, dan sebaliknya. Prinsip ini menolak perlakuan pilih kasih, pandang bulu, atau memihak dengan cara berat sebelah sebagai tidak adil.
2.      Prinsip Material
Prinsip-prinsip material keadilan distributif melengkapi prinsip formal. Prinsip-prinsip material menunjuk pada salah satu aspek relevan yang bisa menjadi dasar untuk membagi dengan adil hal-hal yang dicari oleh berbagai orang. Prinsip keadilan distributif terwujud dengan beberapa prinsip material menurut Beauchamp dan Bowie:
a.      Kepada setiap orang bagian yang sama;
b.      Kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhan individualnya;
c.       Kepada setiap orang sesuai dengan haknya;
d.      Kepada setiap orang sesuai dengan usaha indivisualnya;
e.      Kepada setiap orang sesuai dengan kontribusinya kepada masyarakat;
f.        Kepada setiap orang sesuai dengan jasanya (merit).
Berdasarkan prinsip-prinsip material ini telah dibentuk beberapa teori keadilan distributif. Tiga macam teori tersebur adalah:
a.      Teori Egalitarianisme
Teori ini didasarkan atas prinsip pertama, mereka berpendapat bahwa kita baru membagi dengan adil, bila semua orang mendapat bagian yang sama (equal). Membagi dengan adil berarti membagi rata, “sama rata sama rasa” merupakan sebuah semboyang egalitarian yang khas. Jika karena alasan apa saja tidak semua orang mendapat bagian yang sama, menurut egalitarianisme pembagian itu tidak adil betul.
b.      Teori Sosialistis
Teori sosialistis tentang keadilan distributif memilih prinsip kebutuhan sebagai dasarnya. Menurut mereka masyarakat diatur dengan adil, jika kebutuhan semua warganya terpenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Perlu diakui, kebutuhan dan kemampuan memang tidak boleh diabaikan dalam melaksanakan keadilan distributif. Terutama dengan adanya dua macam kritik, yang pertama, jika kebutuhan dijadikan satu-satunya kriteria untuk melaksanakan keadilan di bidang penggajian, para pekerja tidak akan merasa bermotivasi untuk bekerja keras. Gaji atau upah yang diperoleh sudah dipastikan sebelum orang mulai bekerja, karena kebutuhannya sudah jelas. Yang kedua menyangkut kemampuan sebagai satu-satu nya alasan untuk membagi pekerjaan. Terutama dalam sosialisme komunistis yang totaliter, prinsip ini mengakibatkan orang yang berkemampuan harus menerima saja bila negara membagi pekerjaan kepadanya. Cara mempraktekan keadilan distributif ini mengabaikan hak seseorang untuk memilih profesinya sendiri.
c.       Teori Liberalistis
Liberalisme justru menolak pembagian atas dasar kebutuhan sebagai tidak adil. Karena manusia adalah makhluk bebas, kita harus membagi menurut usaha-bebas dari individu-individu bersangkutan. Yang tidak berusaha tidak mempunyai hak pula untuk memperoleh sesuatu. Liberalisme menolak sebagai sangat tidak etis sikap free rider : benalu yang menumpang pada usaha orang lain tanpa mengeluarkan air keringat sendiri. Orang seperti itu tidak mengakui hak sesamanya untuk menikmati hasil jerih payahnya. Dalam teori liberalistis tentang keadilan distributif digarisbawahi pentingnya dari prinsip hak, usaha tapi secara khusus prinsip jasa atau prestasi.




John Rawls tentang Keadilan Distributif
John Rawis dilahirkan di Baltimore, Maryland Amerika Serikat, tahun 1921. pendidikannya di bidang ekonomi dan filsafat. Sesuai dengan perang dunia II ia mengajar sebagai profesor filsafat berturut-turut di Universitas Priceton, Universitas Cornell dan Massachusets Institute of Technology. Dari tahun 1962 ia akan mengajarkan di Universitas Hervard sampai memasuki masa pensiunnya Bukunya yang termasyhur berjudul A Theory of Justice (1971) salah satu buku filsafat dari abad ke 20 yang paling banyak ditanggapi dan akan dikomentari, bukan saja kalangan filsafat. Yang ditanggapi dan akan dikomentari bukan saja kalangan filsafat melainkan juga diluarnya seperti para ahli ekonomi dan politik. Pandangan Rawls tentang keadilan kadang-kadang disebut egalitarianisme. Hal itu pasti tidak boleh dimengerti dalam arti egalitarianisme radikal. Tetapi titik tolaknya memang egalitarian (prinsip material pertama). Rawls berpendapat, kita membagi dengan adil masyarakat , jika kita membagi rata, kecuali ada alasan untuk membagi dengan cara lain. Menurut Rawls, masalah keadilan distributif hanya muncul berkaitan dengan apa yang tergantung pada kemauan manusia. Dimana manusia tidak bisa berpengaruh, disitu juga tidak mungkin timbul soal keadilan. Yang harus dibagi dengan adil dalam masyarakat adalah the social primary goods (nilai-nilai sosial yang primer). Artinya, hal-hal yang sangat kita butuhkan untuk bisa hidup pantas sebagai manusia dan warga masyarakat. Menurut Rawls, yang termasuk nilai-nilai sosial adalah:
1.      Kebebasan-kebebasan dasar, seperti kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan hati nurani dan kebebasan berkumpul, integritas pribadi dan kebabasan politik;
2.      Kebebasan bergerak dan kebebasan memilih profesi;
3.      Kuasa dan keuntungan yang berkaitan dengan jabatan-jabatan dan posisi-posisi penuh tanggung jawab;
4.      Pendapatan dan milik;
5.      Dasar-dasar sosial dari harga diri (self-respect).

Robert Nozick tentang Keadilan Distributif
Walaupun menjadi rekan sekerja sebagai profesor Filsafat di Universitas Hevard juga dalam pemikiran tentang keadilan Robert Nozick (1938-) bisa dilihat sebagai antipode Rawls yang terutama menjadi sasaran kritiknya adalah prinsip perbedaan dari Rawls nama Nozick menjadi terkenal karena bukunya Anarchy State and Utopia (1974) yang akan menurut pemikiran liberalitisnya tentang keadilan. Teorinya tentang keadilan distributif disebutnya “Entitlement theory” kata “Entitlement” yang mudah dialihbahasakan dengan tepat, barangkali bisa kita terjemahkan sebagai “Landasan hak” menurut Nozick kita akan memiliki sesuatu dengan adil, jika pemilikan itu berasal dari keputusan bebas yang mempunyai landasan hak. Disini ada tiga kemungkinan yang akan mengeluarkan tiga prinsip. Pertama prinsip “Original acquisitions” kita akan memperoleh sesuatu untuk pertama kali dengan – misalnya – memproduksi hal itu. Kedua prinsip “Transfer” kita akan memiliki sesuatu karena akan diberikan oleh orang lain. ketiga prinsip “rectifications of injustice” kita mendapatkan seuatu kembali yang dulunya kalau kita akan memiliki sesuatu dnegan adil karena landasan hak – misalnya kita akan membeli sebidang tanah atau kita dihadiahkan oleh orang lain – kita akan menjadi pemilik yang sah dan terserah pada kita saja mau diapakan milik kita itu.
Nozick juga mempunyai dua keberatan mendasar terhadap prinsip-prinsip (material) keadilan distributif yang tradisional. Pertama, prinsip-prinsip itu bersifat ahistoris dan mempunyai pola yang ditentukan sebelumnya (patterned), karena tidak memperhatikan bagaimana pembagian itu sampai terjadi. Keberatan kedua adalah bahwa prinsip-prinsip tradisional menerapkan pada pembagian barang suatu pola yang ditentukan sebelumnya. Prinsip-prinsip itu semua bersifat “patterned”. Sepintas lalu rupanya prinsip-prinsip Rawls luput dari keberatan kedua ini karena dirumuskan dalam posisi asal (original position) , ketika semua anggota masyarakat masih sama. Tetapi menurut Nozick, prinsip perbedaan Rawls terkena juga keberatan kedua ini, karena menurut pendapat Rawls kita dalam posisi asal harus memihak pada mereka yang minimal beruntung dengan demikian kebebasan dilanggar. Kesimpulan Nozick adalah bahwa keadilan ditegakkan, jika  diakui bakat-bakat dan sifat-sifat pribadi beserta segala konsekuensinya(seperti hasil kerja) sebagai satu-satunya landasan hak (entitlement).
Keadilan Ekonomis
Dipandang dari perspektif sejarah, pengertian “keadilan ekonomis” tidak selalu mendapat perhatian yang sama. Dalam zaman modern keadilan ekonomis tidak banyak diperhatikan, sampai muncul lagi dengan kuatnya sekitar pertengahan abad ke-19 dan berperan penting dalam demokrasi-demokrasi parlementer sepanjang abad ke-20. Bila kita bicara tentang keadilan ekonomis, secara konkret kita sebenarnya lebih banyak membahas ketidakadilan ekonomis, sebab pada kenyataannya kita soroti keadaan atau aspek-aspek masyarakat yang tidak adil. Perhatian untuk keadilan secara konkret mengambil bentuk mengusahakan perbaikan dari keadaan tidak adil. Orang modern yakin akan mendesaknya usaha itu, karena seperti dikatakan Immanuel Kant –jauh lebih banyak orang menderita akibat ketidakadilan daripada akibat bencana alam. Ketidak adilan yang disebabkan oleh ulah manusia, dan karenanya harus diperbaiki juga oleh manusia. Keadilan harus berperan pada tahap sosial maupun individual. Juga dalam konteks ekonomi dan bisnis. Keadilan ekonomis harus diwujudkan dalam masyarakat, tetapi keadilan merupakan juga keutamaan yang harus dimiliki oleh pelaku bisnis secara pribadi. Pebisnis pun tidak merupakan homo-economicus saja, manusia yang hanya tertuju pada kependingan-diri yang ekonomis, manusia yang hanya memperhatikan nilai-nilai ekonomis. Supaya dapat hidup dengan baik disamping nilai-nilai ekonomis ia harus memberi tempat juga kepada nilai-nilai moral. Dan dalam konteks ekonomi dan bisnis salah satu nilai moral terpenting adalah keadilan.




___

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲