etika bisnis periklanan dan etika

| Rabu, 03 April 2013

ETIKA BISNIS
PERIKLANAN DAN ETIKA

 




Dosen Pengampu :
Erman Denny Arfianto, S.E., M.M.
Eisha Lataruva, SE.,MM

Disusun Oleh :
 Sopyan                                               12010110120015
Alifia Palokoto                                   12010110120062
        Dito Surya Wijaya                             12010110120130
Gilang Prasidya Jati                            12010110130184
Yesica Yulian Adicondro                   12010111130160



FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2012/2013




A.LATAR BELAKANG

Latar belakang dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi nilai kewajiban kami pada mata kuliah etika bisnis dan sebagai bentuk pembelajaran bagi mahasiswa untuk menambah pengetahuan mengenai topik ini. Objek yang disajikan sudah jelas adalah mengenai kasus – kasus periklanan dan etika yang merupakan bagian dari permasalahan dalam etika bisnis diantara pelaku bisnis. Cara pengumpulan data yang penulis pakai adalah mengumpulkan data – data dari buku acuan dan sumber-sumber dari website-website yang ada di internet dan tentunya berhubungan dengan objek yang dipilih.

B.CONTOH KASUS

Contoh yang kami ambil adalah mengenai kasus –kasus masalah etika bisnis menyangkut
periklanan yaitu : Persaingan yang dilakukan antar operator seluler Kartu As (Simpati) dan XL dan juga Manipulasi yang dilakukan oleh beberapa produk kecantikan.

PERSAINGAN YANG DILAKUKAN ANTAR OPERATOR SELULAR KARTU AS (SIMPATI) DAN XL
Beberapa tahun lalu, sebuah iklan Kartu AS yang diiklankan oleh Sule di televisi. Dalam  iklan tersebut, ia tampil seolah-olah sedang diwawancarai oleh wartawan. Kemudian ia selanjutnya berkomentar, ”Saya kapok dibohongin sama anak kecil,” ujar Sule yang disambut dengan tertawa para wartawan, dalam penampilan iklannya.
Padahal dalam iklan yang memakai Sule sebagai model langsung teringat iklan Kartu XL yang juga dibintangi Sule juga bersama Baim dan Putri Titian. Terjadilah dialog antara Sule dan Baim. “Gimana Im, Om Sule ganteng khan?” tanya Sule. “Jelek!” jawab Baim memperlihatkan muka polosnya. Kemudian Sule memberikan dua buah makanan kepada Baim dengan harapan Baim akan mengatakan ‘Sule ganteng’. Namun Baim masih menjawab apa ada seperti jawaban sebelumnya. “Dari pertama, Om Sule itu jelek. Dari pertama kalau Rp. 25,- XL, murahnya beneran.” jawab Baim lagi, dan seterusnya.
Satu orang muncul dalam dua penampilan iklan yang merupakan satu produk sejenis yang saling bersaing, dalam waktu yang hampir bersamaan. Jeda waktu aku menonton penampilan Sule dalam iklan di XL dan AS tidak terlalu jauh bahkan hanya dalam hitungan hari. Ada sebagian orang yang berpendapat apa yang dilakukan oleh Sule tidak etis dalam dunia periklanan. Mereka menyoroti peran Sule yang menjadi ‘kutu loncat’ ala tokoh parpol yang secara cepat berpindah kepada pelaku iklan lain yang merupakan kompetitornya. Sebagian lain berpendapat, sah-sah aja.
Namun pada prinsipnya, sebuah tayangan iklan di televisi (khususnya) harus patuh pada aturan-aturan perundang-undangan yang bersifat mengikat serta taat dan tunduk pada tata krama iklan yang sifatnya memang tidak mengikat. Beberapa peraturan perundang-undangan yang menghimpun pengaturan dan peraturan tentang dunia iklan di Indonesia yang bersifat mengikat antara lain adalah peraturan sebagai berikut:
Selain taat dan patuh pada aturan perundang-undangan di atas, pelaku iklan juga diminta menghormati tata krama yang diatur dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI). Ketaatan terhadap EPI diamanahkan dalam ketentuan “Lembaga penyiaran wajib berpedoman pada Etika Pariwara Indonesia.” (Pasal 29 ayat (1) Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran).
Lembaga penyiaran dalam menyiarkan siaran iklan niaga dan siaran iklan layanan masyarakat wajib mematuhi waktu siar dan persentase yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. (Pasal 29 ayat (2) Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran).
Materi siaran iklan yang disiarkan melalui lembaga penyiaran wajib memenuhi persyaratan yang dikeluarkan oleh KPI. (Pasal 46 ayat (4) UU Penyiaran).
Isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang. (Pasal 47 UU Penyiaran).
Pedoman perilaku penyiaran bagi penyelenggaraan siaran ditetapkan oleh KPI. (Pasal 48 ayat (1) UU Penyiaran).
Siaran iklan adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan. (Pasal 1 ayat (15) Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran)
Siaran iklan niaga dilarang melakukan (Pasal 46 ayat (3) UU Penyiaran):
  1. promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain
  2. promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif;
  3. promosi rokok yang memperagakan wujud rokok;
  4. hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama; dan/atau
  5. eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.
Selanjutnya, mengenai pengaturan Etika Pariwara Indonesia (EPI). Intinya, mengenai kasus Sule yang menjadi bintang iklan pada dua produk kompetitor, aku tidak melihatnya sebagai sebuah pelanggaran kode etika pariwara Indonesia (EPI).
Namun demikian, yang patut dipersoalkan bukanlah pada peran Sule yang tampil di dua iklan produk sejenis, tetapi pada materi iklan yang saling menyindir dan menjelekkan. Dalam salah satu prinsip etika yang diatur di dalam EPI, terdapat sebuah prinsip bahwa Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung.”
Di sinilah yang sebenarnya patut dijadikan sebagai objek pembicaraan dan diskusi. Sebagaimana banyak diketahui, iklan-iklan antar produk kartu seluler di Indonesia selama ini kerap saling sindir dan merendahkan produk kompetitornya.
     Contoh Perang Iklan XL vs Telkomsel di billboard Medan     Perang Iklan XL - Telkomsel
Contoh Perang Iklan XL vs Telkomsel di billboard Medan
Di dalam EPI juga diberikan beberapa prinsip tentang keterlibatan anak-anak di bawah umur -apalagi Balita- seperti antara lain:
·         Anak-anak tidak boleh digunakan untuk mengiklankan produk yang tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak, tanpa didampingi orang dewasa.
·         Iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adegan adegan yang berbahaya, menyesatkan atau tidak pantas dilakukan oleh anak-anak.
·         Iklan tidak boleh menampilkan anak-anak sebagai penganjur bagi penggunaan suatu produk yang bukan untuk anak-anak.
·         Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengeksploitasi daya rengek (pester power) anak-anak dengan maksud memaksa para orang tua untuk mengabulkan permintaan anakanak mereka akan produk terkait (lihat halaman 34 EPI).
  1. Fungsi Periklanan
Iklan dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual dan calon pembeli. Dalam proses komunikasi tersebut iklan menyampaikan sebuah ‘pesan’. Dengan demikian kesan yang terlihat pada periklanan terutama bermaksud memberi informasi yang tujuannya untuk memperkenalkan sebuah produk atau jasa.
Dalam periklanan dapat dibedakan dua fungsi : fungsi informatif dan fungsi persuasif. Dunia bisnis sering berbicara tentang periklanan bahwa fungsinya yang utama adalah menyediakan informasi. Sedangkan dalam dunia konsumen (khususnya mereka yang lebih kritis) periklanan terutama dilihat sebagai usaha promosi. Namun pada kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata persuasif. Tetapi ada iklan dimana unsur informasi paling dominan, disamping iklan dimana unsur promosi paling mencolok. Iklan tentang sebuah produk baru biasanya mempunyai unsur informasi yang kuat.
Dalam iklan yang dilakukan oleh operator selular antara kartu As dan XL dapat terlihat bahwa adanya model yang sama dalam dua iklan yang memiliki produk berbeda. Pada iklan XL model yang digunakan adalah para selebritis yang sedang naik daun dan salah satunya adalah pelawak Sule yang akhirnya ditarik oleh manajemen Kartu As untuk menjadi model produknya. Dalam iklan Kartu As tersebut Sule mengatakan bahwa dirinya telah kapok dibohongi anak kecil yang dalam iklan kartu XL, Sule melakukan percakapan dengan selebriti kecil yang mengatakan bahwa Kartu XL ‘beneran murahnya’. Maka para penikmat iklan yang juga calon konsumen  akan  dengan mudah tertarik dengan iklan yang seolah-olah menyindir produk lain. Dan karena model yang digunakan adalah pelawak, maka sebagian penonton menganggap hal teresbut sebagai sesuatu yang menghibur.
Sehingga tercampurnya unsur informatif dan persuasif dalam periklanan membuat penilaian etis terhadapnya menjadi lebih kompleks, karena sebagian penonton juga akan berpendapat hal yang dilakukan dalam iklan tersebut etis atau tidak karena menggunakan model yang sama dalam rentang waktu beberapa hari saja. Seandainya iklan semata-mata informatif atau persuasif, tugas etika disini bisa menjadi lebih mudah. Tapi pada kenyataanya tidak selalu demikian, dengan akibat bahwa etika harus bernuansa dalam menghadapi aspek-aspek etis dari periklanan.
  1. Periklanan dan Kebenaran
Kerap kali iklan terkesan suka membohongi, menyesatkan dan bahkan menipu publik. Periklanan hampir apriori disamakan dengan tidak bisa dipercaya. Tentu saja, pembohongan, penyesatan dan penipuan merupakan perbuatan yang – sekurang-kurangnya prima facie – tidak etis. Berbohong dapat diartikan dengan mengatakan sesuatu yang tidak benar, dan setidak-tidaknya ada dua unsur yang perlu ditambah. Pertama, unsur kesengajaan. Berbohong selalu berimplikasi pengandaian bahwa si pembicara sendiri tidak percaya akan kebenaran dari apa yang dikatakannya. Kedua, supaya mengatakan sesuatu yang tidak benar bisa didefinisikan sebagai berbohong, jika seseorang dengan sengaja mengatakan sesuatu yang tidak benar tetapi ia sama sekali tidak bermaksud supaya orang lain percaya, ia tidak berbohong. Dan hal itu dapat terjadi misalnya dengan orang bercanda. Dalam bersenda gurau, orang sering mengatakan sesuatu yang tidak benar, bukan supaya orang lain percaya, melainkan supaya meraka tertawa.
Jika kita ingin mengevaluasi moralitas periklanan, perlu diperhatikan secara khusus unsur ‘maksud’ dalam perbuatan berbohong. Misalnya dalam kasus ‘perang’ operator yang dibahas sebelumnya. Disaat model telah dikontrak oleh operator lain, ia berkata pada pers di iklan tersebut bahwa telah kapok dengan produk di iklan sebelumnya, dan hal tersebut disambut gelak tawa dari pers kemudian ditimpali dengan tawa ‘mengejek’ dari model.
Disamping itu iklan juga mempunyai unsur promosi. Iklan merayu konsumen dengan mengiming-imingi calon pembeli. Karena itu bahasa iklan menggunakan retorika tersendiri. Misalnya saja iklan operator Kartu As yang menggunakan ‘kalimat’ yang akhirnya mampu diingat banyak orang, seperti “Kiimii” atau “Aku ngga punya pulsaa” dengan nada yang khas atau operator XL yang saat ini sedang gencar-gencarnya mempromosikan kalimat bernada humor seperti “Ciyus?” atau “Miapah?”. Bahasa iklan yang seperti itu membuat penonton selalu teringat dan akhirnya digunakan masyarakat sebagai bahasa yang mampu menghibur, dan hal tersebut tentunya cukup menguntungkan operator kartu selular tersebut. Mengapa? Secara tidak langsung, kalimat yang digunakan banyak orang tersebut setidaknya akan mengingatkan mereka tentang darimana kalimat yang mereka ucapkan itu berasal, kemudian mereka akan menemukan produk dengan ‘kalimat’ yang sering mereka ucapkan.
  1. Manipulasi dengan Periklanan
Manipulasi yang dimaksudkan disini adalah mempengaruhi kemauan orang lain sedemikian rupa, sehingga ia menghendaki atau menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak dipilih oleh orang itu sendiri. Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti motivasi yang tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi ”ditanamkan” dalam dirinya dari luar, tidak hanya dimanipulasi bahkan iklan dapat mempengaruhi konsumen dengan memanfaatkan faktor-faktor psikologis seperti status, gengsi, seks. Disini perilaku konsumen di pengaruhi tapi tidak dimanipulasi. Kebebasan konsumen tidak dihilangkan, jarang terdapat masalah etis, lebih banyak bisa muncul masalah selera rendah (bad taste). Misalnya saja kasus yang terjadi pada sejumlah produsen kecantikan memanfaatkan wajah model ayu untuk iklan. Demi merangsang minat konsumen, tak jarang mereka nekat melakukan manipulasi wajah sang model yang seolah cantik sempurna berkat produk yang dipasarkan.
Seperti iklan NatureLuxe Mousse Mascara, yang mengklaim dapat melentikkan dan menambah volume bulu mata hingga dua kali kondisi normal. Iklan itu menampilkan model berparas ayu dengan penampilan bulu mata sesuai klaim. Mereka yang melihat iklan tersebut mungkin akan mengira penampilan mata sang model berkat NatureLuxe Mousse Mascara. Nyatanya, di sisi bawah iklan tersebut tertera pernyataan dalam boks kecil bahwa bulu mata sang model yang tercipta dalam gambar hasil permainan digital Photoshop.
Kemudian iklan krim antipenuaan Lancome yang dibintangi Julia Roberts dan iklan krim penutup noda Maybelline dengan model Christy Turlington. Produsen yang bernaung di bawah nama besar L'Oreal itu menampilan wajah 'palsu' Julia Roberts dalam iklan dua halaman di sejumlah majalah. Tim iklan nekat melakukan koreksi digital sedemikian rupa untuk menghilangkan keriput, yang sebenarnya tampak nyata di wajah sang bintang. Sementara tim iklan Maybelline sengaja melakukan manipulasi dengan menyekat-nyekat bagian wajah sang bintang dengan maksud menunjukkan perbandingan antara bagian yang memakai dan tidak memakai produk itu. Bagian yang memakai produk dibuat mulus, sedangkan yang tidak memakai terlihat keriput.
Iklan Lancome Julia Roberts
Iklan Maybelline Christy Turlington
 
Melihat hal tersebut Menteri Kesetaraan Inggris, Lynne Featherstone, meminta produsen untuk jujur dalam mengiklankan produknya. Maka dalam kasus ini dapat terlihat bahwa produsen memanfaatkan teknologi yang ada untuk memanipulasi dan mempengaruhi konsumen untuk menggunakan produk yang diiklankan. Namun dalam hal ini bukanlah masalah selera yang telah dijelaskan sebelumnya, namun lebih kepada perilaku menyimpang yang dilakukan produsen yang cenderung tidak mencermikan realitas dan kejujuran.



  1. Pengontrolan terhadap Iklan
Karena kemungkinan dipermainkannya kebenaran dan terjadinya manipulasi merupakan hal-hal rawan dalam bisnis periklanan, perlulah adanya kontrol tepat yang dapat mengimbangi kerawanan tersebut.
    1. Kontrol oleh pemerintah
Seperti yang dilakukan oleh Menteri Kesetaraan Inggris pada produk kecantikan yang beredar di negaranya dimana antara model yang digunakan pada iklan tersebut kurang sesuai dengan wajah aslinya. Dan di Indonesia sendiri beberapa Undang-Undang telah ditetapkan untuk melindungi konsumen terhadap beberapa produk yang menyalahi aturan, diantaranya telah terdapat iklan tentang makanan dan obat yang diawasi oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan.
    1. Kontrol oleh para pengiklan
Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan adalah pengaturan diri (self-regulation) oleh dunia periklanan yang biasanya hal tersebut dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik, sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh profesi periklanan itu sendiri, khususnya oleh asosiasi biro-biro periklanan. Di Indonesia sendiri terdapat Tata krama dan tata cara periklanan Indonesia yang disempurnakan (1996) yang dikeluarkan oleh AMLI (Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesia), ASPINDO (Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia), ASPINDO (Asosiasi Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia), GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia), PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia), SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar) dan Yayasan TVRI (Yayasan Televisi Republik Indonesia). Sedang di Amerika terdapat National Advertising Review Board (NARB) yang disponsori oleh American Association of Advertising Agencies, American Advertising Federation, Association of National Advertisers, dan Council of Better Bussines Bureaus. Tujuannya adalah pengaturan diri oleh para pengiklan. NARB ini menyelidiki semua keluhan tentang periklanan dan memberitahukan hasilnya kepada instansi yang mengajukan keluhannya, dan kegiatan ini diumumkan juga setiap bulan melalui sebuah press release.
    1. Kontrol oleh masyarakat
Masyarakat luas tentu harus ikut serta dalam mengawasi mutu etis periklanan. Dalam hal ini suatu cara yang terbukti membawa banyak hasil dalam menetralisasiefek-efek negatif dari periklanan adalah mendukung dan menggalakkan lembaga-lembaga konsumen, diantaranya yang terdapat di Indonesia (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia di Jakarta dan kemudian Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen di Semarang).
Selain menjaga agar periklanan tidak menyalahi batas-batas etika melalui pengontrolan terhadap iklan-iklan dalam media massa, ada juga cara lebih positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan dengan memberikan penghargaan kepada iklan yang dinilai paling baik. Penghargaan untuk iklan tersebut bisa diberikan oleh instansi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, sebuah majalah, atau lain-lain. Di Indonesia sendiri kita mempunyai Citra Adhi Pariwara yang setiap tahun dikeluarkan oleh “Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia”. Dan apresiasi tersebut dapat memberikan pengaruh positif terhadap perusahaan lain untuk dapat berkreasi secara lebih baik.

  1. Penilaian Etis terhadap Iklan
Suatu penilaian yang diberikan terhadap adanya iklan tidak lepas dari pemikiran moral. Dalam hal ini prinsip-prinsip etis ternyata tidak cukup untuk umenilai moralitas sebuah iklan karena didalam penerapannya banyak faktor lain yang ikut berperan, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Maksud si pengiklan
Jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan tersebut menjadi tidak baik juga. Dalam kasus iklan operator seluler, penonton dapat menarik kesimpulan dari iklan tersebut bahwa Sule selaku model dalam iklan sebelumnya merasa kapok atau mungkin tidak puas dengan fitur-fitur yang ada di produk sebelumnya, kemudian ia berpindah ke produk sekarang yang menurutnya jauh lebih memuaskan. Sehingga maksud dari pengiklan dapat diterima dengan jelas oleh para penonton walau dengan pengangkapan yang berbeda, karena sebagian penonton akan berpikir bahwa produk yang baru dengan model Sule bermaksut untuk menjatuhkan produk sebelumnya.
2.      Isi iklan
Isi iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang menyesatkan, dan tidak bermoral. Dalam persaingan yang dilakukan antar operator seluler Kartu As (Simpati) dan XL, sebagian besar penonton akan menganggap hal tersebut sebagai sebuah lelucon karena model utamanya merupakan seorang pelawak, sehingga isi dari iklan tersebut akan mudah ditangkat. Begitu pula dengan manipulasi yang dilakukan oleh beberapa produk kecantikan, terlihat bahwa hal tersebut dapat mempengaruhi pemikiran penonton karena model yang ditampilkan terlihat ‘sempurna’ dengan produk dan perlengkapan make up yang digunakan dari produk yang diiklankan.
3.      Keadaan publik yang tertuju
Secara umum bisa dikatakan bahwa periklanan mempunyai potensi besar untuk mengipas-ngipas kecemburuan sosial dalam masyarakat dengan memamerkan sikap konsumerisme dan hedonisme dari suatu elite kecil. Hal ini merupakan aspek etis yang sangat penting, terutama dalam masyarakat yang ditandai kesenjangan sosial yang besar seperti Indonesia. Keuntungan perusahaan menjadi tujuan utama bagi para pengiklan untuk melalukan promosi, namun di sisi lain televisi sebagai media utama yang banyak digunakan para pengiklan adalah media yang tidak gampang dikendalikan dari luar, ditambah dengan adanya televisi dan parabola. Mungkin tidak realistis juga untuk mengharapkan bisa melarang periklanan di TV secara total. Tetapi bahaya ditingkatkannya kecemburuan sosial tidak pernah boleh dilupakan. Hal ini ternyata seringkali masih kurang disadari oleh televisi swasta.
4.      Kebiasaan di bidang periklanan
Periklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi tersebut orang telah terbiasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Sudah ada aturan main yang disepakati secara implisit atau eksplisit dan yang seringkali tidak dapat dipisahkan dari etis yang menandai masyarakat tersebut. Misalnya saja yang terjadi di Indonesia sekarang suatu iklan dinilai biasa saja sedang tiga puluh tahun lalu pasti masih mengakibatkan banyak orang mengernyitkan alisnya. Dalam refleksi etika tentang periklanan rupanya tidak mungkin dihindarkan suatu nada relativistis.



KESIMPULAN

Berdasarkan uraian mengenai maslah periklanan dan etika bisnis, dapat penulis kemukakan beberapa kesimpulan yakni :
1. Hubungan antara etika dan periklanan sangat erat kaitannya dengan pola kebiasaan     masyarakat yang terpengaruh dari macam periklanan yang disajikan.
2. periklanan merupakan pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa (surat kabar atau majalah) atau ditempat umum.
3. Periklanan dan Etika Bisnis merupakan penerapan prinsip-prinsip etika yang umum pada suatu wilayah perilaku manusia yang khusus, yaitu kegiatan ekonomi dan bisnis, terutama yang diterapkan pada media periklanan.
4.  Di Indonesia khususnya terdapat permasalahan-permasalahan dalam dunia periklanan terutama menyangkut iklan yang tidak mendidik, iklan yang cenderung menyidir produk lain.

B. SARAN

Berdasarkan uraian mengenai periklanan dan etika bisnis dapat penulis kemukakan beberapa saran antara lain sebagai berikut :
1. Sebaiknya pemerintah menerapkan peraturan atau perundangan yang secara tegas mengatur segala yang berkaitan dengan etika dan periklanan
2. Produsen seharusnya tidak hanya memikirkan untuk mendapat keuntungan yang maksimal tanpa melihat dari kepentingan produsen untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekedar produk yang diiklankan.
3. Pemerintah serta masyarakat berperan aktif dalam menyaring serta sebagai kontrol sosial bagi pengiklanan produk-produk yang menyimpang bahkan bila telah keluar dari jalur etika yang semestinya.


0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲