ETIKA BISNIS
PERIKLANAN DAN ETIKA
Dosen Pengampu :
Erman Denny Arfianto,
S.E., M.M.
Eisha Lataruva, SE.,MM
Eisha Lataruva, SE.,MM
Disusun Oleh :
Sopyan
12010110120015
Alifia
Palokoto 12010110120062
Dito
Surya Wijaya 12010110120130
Gilang
Prasidya Jati 12010110130184
Yesica
Yulian Adicondro 12010111130160
FAKULTAS
EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS
DIPONEGORO
2012/2013
A.LATAR BELAKANG
Latar
belakang dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi nilai kewajiban kami
pada mata kuliah etika bisnis dan sebagai bentuk pembelajaran bagi mahasiswa
untuk menambah pengetahuan mengenai topik ini. Objek yang disajikan sudah jelas
adalah mengenai kasus – kasus periklanan dan
etika yang merupakan bagian dari permasalahan
dalam etika bisnis diantara pelaku bisnis. Cara pengumpulan data yang penulis
pakai adalah mengumpulkan data – data dari buku acuan dan sumber-sumber dari
website-website yang ada di internet dan tentunya berhubungan dengan objek yang
dipilih.
B.CONTOH
KASUS
Contoh yang kami ambil adalah mengenai kasus
–kasus masalah etika bisnis menyangkut
periklanan
yaitu : Persaingan yang dilakukan antar operator seluler Kartu As
(Simpati) dan XL dan juga Manipulasi yang dilakukan oleh beberapa produk
kecantikan.
PERSAINGAN YANG DILAKUKAN ANTAR OPERATOR SELULAR KARTU AS
(SIMPATI) DAN XL
Beberapa tahun lalu, sebuah iklan
Kartu AS yang diiklankan oleh Sule di televisi. Dalam iklan tersebut, ia tampil seolah-olah sedang
diwawancarai oleh wartawan. Kemudian ia selanjutnya berkomentar, ”Saya kapok
dibohongin sama anak kecil,” ujar Sule yang disambut dengan tertawa para
wartawan, dalam penampilan iklannya.
Padahal dalam iklan yang memakai
Sule sebagai model langsung teringat iklan Kartu XL yang juga dibintangi Sule
juga bersama Baim dan Putri Titian. Terjadilah dialog antara Sule dan Baim.
“Gimana Im, Om Sule ganteng khan?” tanya Sule. “Jelek!” jawab Baim
memperlihatkan muka polosnya. Kemudian Sule memberikan dua buah makanan kepada
Baim dengan harapan Baim akan mengatakan ‘Sule ganteng’. Namun Baim masih
menjawab apa ada seperti jawaban sebelumnya. “Dari pertama, Om Sule itu jelek.
Dari pertama kalau Rp. 25,- XL, murahnya beneran.” jawab Baim lagi, dan
seterusnya.
Satu orang muncul dalam dua
penampilan iklan yang merupakan satu produk sejenis yang saling bersaing, dalam
waktu yang hampir bersamaan. Jeda waktu aku menonton penampilan Sule dalam
iklan di XL dan AS tidak terlalu jauh bahkan hanya dalam hitungan hari. Ada
sebagian orang yang berpendapat apa yang dilakukan oleh Sule tidak etis dalam
dunia periklanan. Mereka menyoroti peran Sule yang menjadi ‘kutu loncat’ ala
tokoh parpol yang secara cepat berpindah kepada pelaku iklan lain yang
merupakan kompetitornya. Sebagian lain berpendapat, sah-sah aja.
Namun pada prinsipnya, sebuah
tayangan iklan di televisi (khususnya) harus patuh pada aturan-aturan
perundang-undangan yang bersifat mengikat serta taat dan tunduk pada tata krama
iklan yang sifatnya memang tidak mengikat. Beberapa peraturan
perundang-undangan yang menghimpun pengaturan dan peraturan tentang dunia iklan
di Indonesia yang bersifat mengikat antara lain adalah peraturan sebagai
berikut:
- UU No. 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
- UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers
- UU No. 24
tahun 1997 tentang Penyiaran
- UU No. 7
tahun 1996
- PP No. 69
tahun 1999
- Kepmenkes
No. (rancangan) tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia
- PP No. 81
tahun 1999 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan
- PP No.38
tahun 2000 Tentang
Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.
- Kepmenkes
No.
368/MEN.KES/SK/IV/1994 Tentang
Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan,
Kosmetika, Perbekalan Kesehatan, Rumah Tangga, Makanan, dan Minuman.
Selain taat dan patuh pada aturan
perundang-undangan di atas, pelaku iklan juga diminta menghormati tata krama
yang diatur dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI). Ketaatan terhadap EPI
diamanahkan dalam ketentuan “Lembaga penyiaran wajib berpedoman pada Etika
Pariwara Indonesia.” (Pasal 29 ayat (1) Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku
Penyiaran).
Lembaga penyiaran dalam
menyiarkan siaran iklan niaga dan siaran iklan layanan masyarakat wajib
mematuhi waktu siar dan persentase yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. (Pasal 29 ayat (2) Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku
Penyiaran).
Materi siaran iklan yang
disiarkan melalui lembaga penyiaran wajib memenuhi persyaratan yang dikeluarkan
oleh KPI. (Pasal 46 ayat (4) UU Penyiaran).
Isi siaran dalam bentuk film
dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang.
(Pasal 47 UU Penyiaran).
Pedoman perilaku penyiaran bagi
penyelenggaraan siaran ditetapkan oleh KPI. (Pasal 48 ayat (1) UU Penyiaran).
Siaran
iklan adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat
tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh
khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan.
(Pasal 1 ayat (15) Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran)
Siaran iklan niaga
dilarang melakukan (Pasal 46 ayat (3) UU Penyiaran):
- promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu
agama, ideologi, pribadi dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan
dan/atau merendahkan martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain,
atau kelompok lain
- promosi minuman keras atau sejenisnya dan
bahan atau zat adiktif;
- promosi rokok yang memperagakan wujud rokok;
- hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan
masyarakat dan nilai-nilai agama; dan/atau
- eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan
belas) tahun.
Selanjutnya, mengenai
pengaturan Etika Pariwara Indonesia (EPI). Intinya, mengenai kasus Sule yang
menjadi bintang iklan pada dua produk kompetitor, aku tidak melihatnya sebagai
sebuah pelanggaran kode etika pariwara Indonesia (EPI).
Namun demikian, yang
patut dipersoalkan bukanlah pada peran Sule yang tampil di dua iklan produk
sejenis, tetapi pada materi iklan yang saling menyindir dan menjelekkan. Dalam
salah satu prinsip etika yang diatur di dalam EPI, terdapat sebuah prinsip
bahwa “Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing
secara langsung maupun tidak langsung.”
Di sinilah yang sebenarnya patut
dijadikan sebagai objek pembicaraan dan diskusi. Sebagaimana banyak diketahui,
iklan-iklan antar produk kartu seluler di Indonesia selama ini kerap saling sindir
dan merendahkan produk kompetitornya.
Contoh Perang Iklan XL vs
Telkomsel di billboard Medan
Di dalam EPI juga diberikan
beberapa prinsip tentang keterlibatan anak-anak di bawah umur -apalagi Balita-
seperti antara lain:
·
Anak-anak tidak boleh digunakan untuk
mengiklankan produk yang tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak, tanpa
didampingi orang dewasa.
·
Iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam
adegan adegan yang berbahaya, menyesatkan atau tidak pantas dilakukan oleh
anak-anak.
·
Iklan tidak boleh menampilkan anak-anak sebagai
penganjur bagi penggunaan suatu produk yang bukan untuk anak-anak.
·
Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang
mengeksploitasi daya rengek (pester power) anak-anak dengan maksud memaksa para
orang tua untuk mengabulkan permintaan anakanak mereka akan produk terkait
(lihat halaman 34 EPI).
- Fungsi
Periklanan
Iklan
dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual dan
calon pembeli. Dalam proses komunikasi tersebut iklan menyampaikan sebuah
‘pesan’. Dengan demikian kesan yang terlihat pada periklanan terutama bermaksud
memberi informasi yang tujuannya untuk memperkenalkan sebuah produk atau jasa.
Dalam
periklanan dapat dibedakan dua fungsi : fungsi informatif dan fungsi persuasif.
Dunia bisnis sering berbicara tentang periklanan bahwa fungsinya yang utama
adalah menyediakan informasi. Sedangkan dalam dunia konsumen (khususnya mereka
yang lebih kritis) periklanan terutama dilihat sebagai usaha promosi. Namun
pada kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata persuasif. Tetapi ada iklan
dimana unsur informasi paling dominan, disamping iklan dimana unsur promosi
paling mencolok. Iklan tentang sebuah produk baru biasanya mempunyai unsur
informasi yang kuat.
Dalam iklan
yang dilakukan oleh operator selular antara kartu As dan XL dapat terlihat
bahwa adanya model yang sama dalam dua iklan yang memiliki produk berbeda. Pada
iklan XL model yang digunakan adalah para selebritis yang sedang naik daun dan
salah satunya adalah pelawak Sule yang akhirnya ditarik oleh manajemen Kartu As
untuk menjadi model produknya. Dalam iklan Kartu As tersebut Sule mengatakan
bahwa dirinya telah kapok dibohongi anak kecil yang dalam iklan kartu XL, Sule
melakukan percakapan dengan selebriti kecil yang mengatakan bahwa Kartu XL
‘beneran murahnya’. Maka para penikmat iklan yang juga calon konsumen akan
dengan mudah tertarik dengan iklan yang seolah-olah menyindir produk
lain. Dan karena model yang digunakan adalah pelawak, maka sebagian penonton
menganggap hal teresbut sebagai sesuatu yang menghibur.
Sehingga
tercampurnya unsur informatif dan persuasif dalam periklanan membuat penilaian
etis terhadapnya menjadi lebih kompleks, karena sebagian penonton juga akan
berpendapat hal yang dilakukan dalam iklan tersebut etis atau tidak karena
menggunakan model yang sama dalam rentang waktu beberapa hari saja. Seandainya
iklan semata-mata informatif atau persuasif, tugas etika disini bisa menjadi
lebih mudah. Tapi pada kenyataanya tidak selalu demikian, dengan akibat bahwa
etika harus bernuansa dalam menghadapi aspek-aspek etis dari periklanan.
- Periklanan
dan Kebenaran
Kerap kali
iklan terkesan suka membohongi, menyesatkan dan bahkan menipu publik.
Periklanan hampir apriori disamakan dengan tidak bisa dipercaya. Tentu saja,
pembohongan, penyesatan dan penipuan merupakan perbuatan yang –
sekurang-kurangnya prima facie –
tidak etis. Berbohong dapat diartikan dengan mengatakan sesuatu yang tidak
benar, dan setidak-tidaknya ada dua unsur yang perlu ditambah. Pertama, unsur
kesengajaan. Berbohong selalu berimplikasi pengandaian bahwa si pembicara
sendiri tidak percaya akan kebenaran dari apa yang dikatakannya. Kedua, supaya
mengatakan sesuatu yang tidak benar bisa didefinisikan sebagai berbohong, jika
seseorang dengan sengaja mengatakan sesuatu yang tidak benar tetapi ia sama
sekali tidak bermaksud supaya orang lain percaya, ia tidak berbohong. Dan hal
itu dapat terjadi misalnya dengan orang bercanda. Dalam bersenda gurau, orang
sering mengatakan sesuatu yang tidak benar, bukan supaya orang lain percaya,
melainkan supaya meraka tertawa.
Jika kita ingin
mengevaluasi moralitas periklanan, perlu diperhatikan secara khusus unsur
‘maksud’ dalam perbuatan berbohong. Misalnya dalam kasus ‘perang’ operator yang
dibahas sebelumnya. Disaat model telah dikontrak oleh operator lain, ia berkata
pada pers di iklan tersebut bahwa telah kapok dengan produk di iklan
sebelumnya, dan hal tersebut disambut gelak tawa dari pers kemudian ditimpali
dengan tawa ‘mengejek’ dari model.
Disamping itu
iklan juga mempunyai unsur promosi. Iklan merayu konsumen dengan
mengiming-imingi calon pembeli. Karena itu bahasa iklan menggunakan retorika
tersendiri. Misalnya saja iklan operator Kartu As yang menggunakan ‘kalimat’
yang akhirnya mampu diingat banyak orang, seperti “Kiimii” atau “Aku ngga punya
pulsaa” dengan nada yang khas atau operator XL yang saat ini sedang
gencar-gencarnya mempromosikan kalimat bernada humor seperti “Ciyus?” atau
“Miapah?”. Bahasa iklan yang seperti itu membuat penonton selalu teringat dan
akhirnya digunakan masyarakat sebagai bahasa yang mampu menghibur, dan hal
tersebut tentunya cukup menguntungkan operator kartu selular tersebut. Mengapa?
Secara tidak langsung, kalimat yang digunakan banyak orang tersebut setidaknya
akan mengingatkan mereka tentang darimana kalimat yang mereka ucapkan itu
berasal, kemudian mereka akan menemukan produk dengan ‘kalimat’ yang sering
mereka ucapkan.
- Manipulasi
dengan Periklanan
Manipulasi yang
dimaksudkan disini adalah mempengaruhi kemauan orang lain sedemikian rupa,
sehingga ia menghendaki atau menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak dipilih
oleh orang itu sendiri. Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti motivasi yang
tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi ”ditanamkan” dalam dirinya dari luar,
tidak hanya dimanipulasi bahkan iklan dapat mempengaruhi konsumen dengan
memanfaatkan faktor-faktor psikologis seperti status, gengsi, seks. Disini
perilaku konsumen di pengaruhi tapi tidak dimanipulasi. Kebebasan konsumen
tidak dihilangkan, jarang terdapat masalah etis, lebih banyak bisa muncul
masalah selera rendah (bad taste).
Misalnya saja kasus yang terjadi pada sejumlah produsen kecantikan memanfaatkan
wajah model ayu untuk iklan. Demi merangsang minat konsumen, tak jarang mereka
nekat melakukan manipulasi wajah sang model yang seolah cantik sempurna berkat
produk yang dipasarkan.
Seperti iklan
NatureLuxe Mousse Mascara, yang mengklaim dapat melentikkan dan menambah volume
bulu mata hingga dua kali kondisi normal. Iklan itu menampilkan model berparas
ayu dengan penampilan bulu mata sesuai klaim. Mereka yang melihat iklan
tersebut mungkin akan mengira penampilan mata sang model berkat NatureLuxe
Mousse Mascara. Nyatanya, di sisi bawah iklan tersebut tertera pernyataan dalam
boks kecil bahwa bulu mata sang model yang tercipta dalam gambar hasil
permainan digital Photoshop.
Kemudian iklan
krim antipenuaan Lancome yang dibintangi Julia Roberts dan iklan krim penutup
noda Maybelline dengan model Christy Turlington. Produsen yang bernaung di
bawah nama besar L'Oreal itu menampilan wajah 'palsu' Julia Roberts dalam iklan
dua halaman di sejumlah majalah. Tim iklan nekat melakukan koreksi digital
sedemikian rupa untuk menghilangkan keriput, yang sebenarnya tampak nyata di
wajah sang bintang. Sementara tim iklan Maybelline sengaja melakukan manipulasi
dengan menyekat-nyekat bagian wajah sang bintang dengan maksud menunjukkan
perbandingan antara bagian yang memakai dan tidak memakai produk itu. Bagian
yang memakai produk dibuat mulus, sedangkan yang tidak memakai terlihat
keriput.
|
|
Melihat hal
tersebut Menteri
Kesetaraan Inggris, Lynne Featherstone, meminta produsen untuk jujur dalam
mengiklankan produknya. Maka dalam
kasus ini dapat terlihat bahwa produsen memanfaatkan teknologi yang ada untuk
memanipulasi dan mempengaruhi konsumen untuk menggunakan produk yang
diiklankan. Namun dalam hal ini bukanlah masalah selera yang telah dijelaskan
sebelumnya, namun lebih kepada perilaku menyimpang yang dilakukan produsen yang
cenderung tidak mencermikan realitas dan kejujuran.
- Pengontrolan
terhadap Iklan
Karena kemungkinan dipermainkannya kebenaran dan terjadinya manipulasi
merupakan hal-hal rawan dalam bisnis periklanan, perlulah adanya kontrol tepat
yang dapat mengimbangi kerawanan tersebut.
- Kontrol oleh pemerintah
Seperti yang dilakukan oleh Menteri Kesetaraan Inggris pada produk
kecantikan yang beredar di negaranya dimana antara model yang digunakan pada
iklan tersebut kurang sesuai dengan wajah aslinya. Dan di Indonesia sendiri
beberapa Undang-Undang telah ditetapkan untuk melindungi konsumen terhadap
beberapa produk yang menyalahi aturan, diantaranya telah terdapat iklan tentang
makanan dan obat yang diawasi oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan.
- Kontrol oleh para pengiklan
Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan
adalah pengaturan diri (self-regulation) oleh dunia periklanan yang
biasanya hal tersebut dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik, sejumlah
norma dan pedoman yang disetujui oleh profesi periklanan itu sendiri, khususnya
oleh asosiasi biro-biro periklanan. Di Indonesia sendiri terdapat Tata krama
dan tata cara periklanan Indonesia yang disempurnakan (1996) yang
dikeluarkan oleh AMLI (Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesia), ASPINDO
(Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia), ASPINDO (Asosiasi
Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia), GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop
Seluruh Indonesia), PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), PRSSNI
(Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia), SPS (Serikat Penerbit Surat
Kabar) dan Yayasan TVRI (Yayasan Televisi Republik Indonesia). Sedang di
Amerika terdapat National Advertising Review Board (NARB) yang
disponsori oleh American Association of Advertising Agencies, American
Advertising Federation, Association of National Advertisers, dan Council
of Better Bussines Bureaus. Tujuannya adalah pengaturan diri oleh para
pengiklan. NARB ini menyelidiki semua keluhan tentang periklanan dan
memberitahukan hasilnya kepada instansi yang mengajukan keluhannya, dan
kegiatan ini diumumkan juga setiap bulan melalui sebuah press release.
- Kontrol oleh masyarakat
Masyarakat luas tentu harus ikut serta dalam mengawasi mutu etis
periklanan. Dalam hal ini suatu cara yang terbukti membawa banyak hasil dalam
menetralisasiefek-efek negatif dari periklanan adalah mendukung dan menggalakkan
lembaga-lembaga konsumen, diantaranya yang terdapat di Indonesia (Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia di Jakarta dan kemudian Lembaga Pembinaan dan
Perlindungan Konsumen di Semarang).
Selain menjaga agar periklanan tidak menyalahi batas-batas etika melalui
pengontrolan terhadap iklan-iklan dalam media massa, ada juga cara lebih
positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan dengan memberikan penghargaan
kepada iklan yang dinilai paling baik. Penghargaan untuk iklan tersebut bisa
diberikan oleh instansi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, sebuah majalah,
atau lain-lain. Di Indonesia sendiri kita mempunyai Citra Adhi Pariwara yang
setiap tahun dikeluarkan oleh “Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia”. Dan
apresiasi tersebut dapat memberikan pengaruh positif terhadap perusahaan lain
untuk dapat berkreasi secara lebih baik.
- Penilaian
Etis terhadap Iklan
Suatu penilaian yang diberikan terhadap adanya iklan tidak lepas dari
pemikiran moral. Dalam hal ini prinsip-prinsip etis ternyata tidak cukup untuk
umenilai moralitas sebuah iklan karena didalam penerapannya banyak faktor lain
yang ikut berperan, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Maksud si pengiklan
Jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan
tersebut menjadi tidak baik juga. Dalam kasus iklan operator seluler, penonton
dapat menarik kesimpulan dari iklan tersebut bahwa Sule selaku model dalam
iklan sebelumnya merasa kapok atau mungkin tidak puas dengan fitur-fitur yang
ada di produk sebelumnya, kemudian ia berpindah ke produk sekarang yang
menurutnya jauh lebih memuaskan. Sehingga maksud dari pengiklan dapat diterima
dengan jelas oleh para penonton walau dengan pengangkapan yang berbeda, karena
sebagian penonton akan berpikir bahwa produk yang baru dengan model Sule bermaksut
untuk menjatuhkan produk sebelumnya.
2. Isi iklan
Isi iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang
menyesatkan, dan tidak bermoral. Dalam persaingan yang
dilakukan antar operator seluler Kartu As (Simpati) dan XL, sebagian besar
penonton akan menganggap hal tersebut sebagai sebuah lelucon karena model
utamanya merupakan seorang pelawak, sehingga isi dari iklan tersebut akan mudah
ditangkat. Begitu pula dengan manipulasi yang dilakukan oleh beberapa produk
kecantikan, terlihat bahwa hal tersebut dapat mempengaruhi pemikiran penonton
karena model yang ditampilkan terlihat ‘sempurna’ dengan produk dan
perlengkapan make up yang digunakan dari produk yang diiklankan.
3. Keadaan publik yang tertuju
Secara umum bisa dikatakan bahwa periklanan mempunyai potensi besar
untuk mengipas-ngipas kecemburuan sosial dalam masyarakat dengan memamerkan
sikap konsumerisme dan hedonisme dari suatu elite kecil. Hal ini merupakan
aspek etis yang sangat penting, terutama dalam masyarakat yang ditandai
kesenjangan sosial yang besar seperti Indonesia. Keuntungan perusahaan menjadi
tujuan utama bagi para pengiklan untuk melalukan promosi, namun di sisi lain
televisi sebagai media utama yang banyak digunakan para pengiklan adalah media
yang tidak gampang dikendalikan dari luar, ditambah dengan adanya televisi dan
parabola. Mungkin tidak realistis juga untuk mengharapkan bisa melarang
periklanan di TV secara total. Tetapi bahaya ditingkatkannya kecemburuan sosial
tidak pernah boleh dilupakan. Hal ini ternyata seringkali masih kurang disadari
oleh televisi swasta.
4. Kebiasaan di
bidang periklanan
Periklanan
selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi tersebut orang
telah terbiasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Sudah ada aturan main
yang disepakati secara implisit atau eksplisit dan yang seringkali tidak dapat
dipisahkan dari etis yang menandai masyarakat tersebut. Misalnya saja yang
terjadi di Indonesia sekarang suatu iklan dinilai biasa saja sedang tiga puluh
tahun lalu pasti masih mengakibatkan banyak orang mengernyitkan alisnya. Dalam refleksi
etika tentang periklanan rupanya tidak mungkin dihindarkan suatu nada
relativistis.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian mengenai maslah
periklanan dan etika bisnis, dapat penulis kemukakan beberapa kesimpulan yakni :
1. Hubungan antara etika dan periklanan sangat erat
kaitannya dengan pola kebiasaan masyarakat
yang terpengaruh dari macam periklanan yang disajikan.
2. periklanan merupakan pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang atau jasa yang dijual,
dipasang di dalam media massa (surat kabar atau majalah) atau ditempat umum.
3. Periklanan dan Etika Bisnis merupakan penerapan
prinsip-prinsip etika yang umum pada suatu wilayah perilaku manusia yang
khusus, yaitu kegiatan ekonomi dan bisnis,
terutama yang diterapkan pada media periklanan.
4. Di Indonesia khususnya terdapat permasalahan-permasalahan dalam dunia
periklanan terutama menyangkut iklan yang tidak mendidik, iklan yang cenderung menyidir produk lain.
B. SARAN
Berdasarkan uraian mengenai
periklanan dan etika bisnis dapat penulis kemukakan beberapa saran antara lain
sebagai berikut :
1. Sebaiknya
pemerintah menerapkan peraturan atau perundangan yang secara tegas mengatur
segala yang berkaitan dengan etika dan periklanan
2. Produsen
seharusnya tidak hanya memikirkan untuk mendapat keuntungan yang maksimal tanpa
melihat dari kepentingan produsen untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari
sekedar produk yang diiklankan.
3.
Pemerintah serta masyarakat berperan aktif dalam menyaring serta sebagai
kontrol sosial bagi pengiklanan produk-produk yang menyimpang bahkan bila telah keluar dari jalur etika yang semestinya.
0 komentar:
Posting Komentar