“ EKONOMI DAN KEADILAN“
Antara
ekonomi dan keadilan terjalin hubungan yang erat, karenanya keduanya berasal
dari sumber yang sama. Sumber itu adalah masalah kelangkaan. Ekonomi timbul
karena ketebatasan sumber daya. Barang yang tersedia selalu langka dank arena
itu kita akan mencarikan untuk membagikannya atau mendistriusikannya dengan
paling baik. Barang yang tersedia dalam keadaan melimpah ruah tidak mungkin
akan muncul masalah ekonomi karena barang itu tidak akan diperjual belikan dan
akibatnya tidak akan diberikan harga ekonomi sebagai ilmu yang akan
didefinisikan sebagai berikut. “Ekonomi adalah studi tentang cara bagaimana
masyarakat menggunakan sumber daya yang langka untuk memproduksikan
komoditas-komoditasnya yang berharga dan mendistribusikannya antara orang-orang
yang berbeda Ekonom dan politikus dari Belgia Mark Eyskens, menyajikan definisi
yang senada ; ilmu ekonomi tak lain adalah refleksi tentang cara manusia
menggunakan dengan optimal sarana-sarana yang mengemukakan lebih banyak
definisi.
Seandainya
tidak ada kelangkaan, tidak akan ada ekonomi. Tetapi hal yang sama dapat
dikatakan juga tentang keadilan (atau sekurang-kurangnya tentang tipe keadilan
yang paling penting yaitu keadilan tributif); Selama barang yang tersedia dalam
keadaan yang melimpah tidak bisa memunculkan masalah keadilan. Masalah keadilan
atau ketidakadilan baru muncul jika tidak bersedia barang cukup bagi semua
orang yang akan menginginkannya. Adil tidaknya suatu keadaan selalu terkait
juga dengan kelangkaan. Tetapi untuk menyadari pentingnya keadilan (dan
ekonomi) dalam situasi dunia yang sekarang. Perlu kita ingat bahwa hampir tidak
ada lagi barang yang tidak langka.
Hakikat Keadilan
Definisi sederhana yang ada pada zaman Kekaisaran
Roma karena pada zaman ini orang-orang Roma kuno terkenal dalam hal menciptakan
suatu sistem hukum yang bagus (Ius
Romanum) yang masih dikagumi dan dipelajari hingga saat ini, bukan saja
oleh para sejarawan tetapi juga oleh para ahli hukum. Pengarang Roma, Ulpianus
yang dalam hal ini mengutip orang yang bernama Celsus, menggambarkan keadilan
dengan singkat sekali sebagai: “tribuere cuique suum”, atau dalam bahasa
Indonesia: “memberikan kepada seseorang yang dia empunya”. Dan bagi kita, titik
tolak untuk refleksi tentang keadilan memang sebaiknya menjadi demikian:
keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.
Ada tiga ciri khas yang selalu menandai keadilan:
1.
keadilan tertuju pada orang lain atau keadilan selalu ditandai
other-directedness (J. Finnis). Mustahillah saya berlaku adil(atau tidak adil)
terhadap diri saya sendiri. Kalau orang berbicara tentang keadilan atau ketidak
adilan terhadap dirinya sendiri, ia hanya menggunakan kata itu dalam arti kiasan,
bukan arti sesungguhnya. Masalah keadilan atau ketidak adilan hanya bisa timbul
dalam konteks antar-manusia. Bila pada suatu saat hanya tinggal satu manusia
lagi dibumi ini, masalah keadilan atau ketidak adilan sudah tidak berperan
lagi.
2.
keadilan harus ditegakkan atau dilaksanakan. Sehingga keadilan
mengikat kita dan kita mempunyai kewajiban untuk menegakkan dan melaksanakan
keadilan tersebut. Ciri kedua ini disebabkan karena keadilan selalu berkaitan
dengan hak yang harus dipenuhi. Bila ciri pertama tadi menyatakan bahwa dalam
konteks keadilan kita selalu berurusan dengan hak orang lain, maksudnya kita
bisa memberikan sesuatu kepada orang lain karena rupa-rupa alasan. Kalau kita
memberikan sesuatu karena alasan keadilan, kita selalu harus atau wajib memberikannya.
Sedangkan kalau kita memberikan sesuatu karena alasan lain, kita tidak wajib
memberikannya. Misalnya kita memberikan minum kepada tamu untuk menghormati
dia, kita tidak wajib memberikannya. Namun bila kita memberikan sesuatu karena
alasan keadilan, kita harus memberikannya. Sebagai contoh majikan harus
memberikan gaji yang adil kepada karyawan.
3.
keadilan menurut persamaan (equality). Atas dasar keadilan, kita harus
memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi milik haknya, tanpa kecuali. Dewi
Iustitia yang memegang timbangan dalam tangannya, dalam mitologi Romawi
digambarkan juga dengan matanya yang tertutup kain, sifat ini menunjukkan
kepada ciri ketiga yang berarti keadilan harus dilaksanakan terhadap semua
orang, tanpa melihat siapa orangnya.
Pembagian Keadilan
1.
Pembagian
Klasik
Disebut pembagian klasik karena mempunyai
tradisi yang panjang. Keadilan dapat dibagi atas tiga, berkaitan dengan tiga
kewajiban (atau hak) yang bisa dibedakan disini. Keadilan dapat menyangkut
kewajiban individu-individu terhadap masyarakat, lalu kewajiban masyarakat
terhadap individu-individu dan akhirnya kewajiban antara individu-individu satu
sama lain. Tiga macam keadilan ini masing-masing disebut keadilan umum,
distributif dan komutatif
a.
Keadilan
umum (general justice) : berdasarkan
keadilan ini para anggota masyarakat diwajibkan untuk memberi kepada masyarakat
(secara konkret berarti: negara) apa yang menjadi haknya. Keadilan umum ini
menyajikan landasan untuk paham common
good (kebaikan umum atau kebaikan bersama). Karena adanya common good, kita harus menempatkan
kepentingan umum diatas kepentingan pribadi.
b. Keadilan Distributif (distributive justice) : berdasarkan keadilan ini negara (secara
konkret berarti: pemerintah) harus membagi segalanya dengan cara yang sama
kepada para anggota masyarakat. Dalam bahasa Indonesia bisa dipakai nama
“keadilan membagi”. Diantara hal-hal yang dibagi oleh negara kepada para warga
ada hal-hal yang enak untuk didapat dan ada hal-hal yang justru tidak enak
kalau kena. Sebagai contoh dalam kategori pertama dapat disebut: perlindungan
hukum, tanda kehormatan, tunjangan bulanan untuk veteran, dan sebagainya.
Contoh untuk kategori kedua adalah kewajiban kerja bakti, ikut dalam ikut dalam
siskamling, besar kecilnya beban pajak, dan sebagainya. Tidak adil bila
pemimpin masyarakat mempraktekkan “pilih kasih” dalam membagi hal-hal yang enak
maupun tidak enak itu. Tidak adil, bila pemerintah mengistimewakan orang-orang
tertentu yang tidak mempunyai hak-hak khusus.
c. Keadilan Komutatif (commutative justice) :
berdasarkan keadilan ini setiap orang harus memberikan kepada orang lain apa
yang menjadi haknya. Hal itu berlaku pada taraf individual maupun sosial. Bukan
saja individu satu harus memberikan haknya kepada individu lain, melainkan juga
kelompok satu kepada kelompok lain. Keadilan komutatif dilanggar antara lain
dengan mencuri, tidak mengembalikan apa yang dipinjam, melukai atau membunuh
seseorang. Mengapa? Karena dengan semua perbuatan itu kita mengambil apa yang
menjadi hak seseorang. Misalnya, dengan membunuh seseorang kita mengambil
haknya, yaitu hak atas kehidupan.
2.
Pembagian
Pengarang Modern
Dikemukakan oleh beberapa pengarang modern
tentang etika bisnis, khususnya John Broatright dan Manuel Velasquez. Mereka
menandaskan bahwa pembagian itu melanjutkan pemikiran Aristoteles, diantaranya:
a.
Keadilan
Distributif (Distributive Justice): Benefits and burdens, hal-hal yang enak
untuk didapat maupun hal-hal yang menuntut pengorbanan, harus dibagi dengan
adil.
b.
Keadilan
Retributif (Retributive justice):
berkaitan dengan terjadinya kesalahan. Hukuman atau denda yang diberikan kepada
orang yang bersalah haruslah bersifat adil. Dan syarat yang harus dipenuhi agar
hukuman dapat dinilai adil adalah (a) orang atau instansi yang dihukum harus
tahu apa yang dilakukan dilakukannya dan harus dilakukannya dengan bebas. Jadi,
syaratnya ialah kesengajaan dan kebebasan. (b) harus dipastikan bahwa orang
yang dihukum benar-benar melakukan perbuatan yang salah dan kesalahannya harus
dibuktikan dengan meyakinkan. (c) hukuman harus konsisten dan proporsional
dengan pelanggaran yang dilakukan. Syarat konsistensi terpenuhi jika selalu
diambil tindakan terhadap suatu pelanggaran dan jika semua pelanggar dikenakan
hukumamn yang sama. Syarat proporsional terpenuhi jika hukuman atau denda yang
ditetapkan tidak melebihi kerugian yang diakibatkan.
3.
Keadilan
Individual dan Keadilan Sosial
Dua macam keadilan ini berbeda karena
pelaksanaannya yang berbeda, pelaksanaan keadilan individual tergantung pada kemauan
atau keputusan satu orang (atau bisa juga beberapa orang) saja. Dalam
pelaksanaan keadilan sosial, satu orang atau beberapa orang saja tidak berdaya.
Pelaksanaan keadilan sosial tergantung pada struktur-struktur masyarakat di
bidang sosial-ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Keadilan sosial tak
terlaksana jika struktur-struktur masyarakat tidak memungkinkan. Keadilan
sosial terlaksana bila hak-hak sosial terpenuhi. Keadilan individual terlaksana
bila hak-hak indiviual terpenuhi. Tetapi perlu diakui keadilan individual
seringkali dapat dilaksanakan dengan sempurna. Karena kompleksitas masyarakat
modern, keadilan sosial tidak pernah dapat dilaksanakan dengan sempurna.
Keadilan Distributif pada Khususnya
Dalam teori etika modern, sering disebut dua
macam prinsip untuk keadilan distributif :
1.
Prinsip
Formal
Prinsip formal menyatakan bahwa kasus-kasus yang sama
harus diperlakukan dengan cara yang sama, dan sebaliknya. Prinsip ini menolak
perlakuan pilih kasih, pandang bulu, atau memihak dengan cara berat sebelah
sebagai tidak adil.
2.
Prinsip
Material
Prinsip-prinsip material keadilan distributif
melengkapi prinsip formal. Prinsip-prinsip material menunjuk pada salah satu
aspek relevan yang bisa menjadi dasar untuk membagi dengan adil hal-hal yang
dicari oleh berbagai orang. Prinsip keadilan distributif terwujud dengan
beberapa prinsip material menurut Beauchamp dan Bowie:
a.
Kepada
setiap orang bagian yang sama;
b.
Kepada
setiap orang sesuai dengan kebutuhan individualnya;
c.
Kepada
setiap orang sesuai dengan haknya;
d.
Kepada
setiap orang sesuai dengan usaha indivisualnya;
e.
Kepada
setiap orang sesuai dengan kontribusinya kepada masyarakat;
f.
Kepada
setiap orang sesuai dengan jasanya (merit).
Berdasarkan prinsip-prinsip material ini telah
dibentuk beberapa teori keadilan distributif. Tiga macam teori tersebur adalah:
a.
Teori
Egalitarianisme
Teori ini didasarkan atas prinsip pertama, mereka
berpendapat bahwa kita baru membagi dengan adil, bila semua orang mendapat
bagian yang sama (equal). Membagi
dengan adil berarti membagi rata, “sama rata sama rasa” merupakan sebuah
semboyang egalitarian yang khas. Jika karena alasan apa saja tidak semua orang
mendapat bagian yang sama, menurut egalitarianisme pembagian itu tidak adil
betul.
b.
Teori
Sosialistis
Teori sosialistis tentang keadilan distributif memilih
prinsip kebutuhan sebagai dasarnya. Menurut mereka masyarakat diatur dengan
adil, jika kebutuhan semua warganya terpenuhi, seperti kebutuhan akan sandang,
pangan dan papan. Perlu diakui, kebutuhan dan kemampuan memang tidak boleh
diabaikan dalam melaksanakan keadilan distributif. Terutama dengan adanya dua
macam kritik, yang pertama, jika kebutuhan dijadikan satu-satunya kriteria
untuk melaksanakan keadilan di bidang penggajian, para pekerja tidak akan
merasa bermotivasi untuk bekerja keras. Gaji atau upah yang diperoleh sudah
dipastikan sebelum orang mulai bekerja, karena kebutuhannya sudah jelas. Yang
kedua menyangkut kemampuan sebagai satu-satu nya alasan untuk membagi
pekerjaan. Terutama dalam sosialisme komunistis yang totaliter, prinsip ini
mengakibatkan orang yang berkemampuan harus menerima saja bila negara membagi
pekerjaan kepadanya. Cara mempraktekan keadilan distributif ini mengabaikan hak
seseorang untuk memilih profesinya sendiri.
c.
Teori
Liberalistis
Liberalisme justru menolak pembagian atas dasar
kebutuhan sebagai tidak adil. Karena manusia adalah makhluk bebas, kita harus
membagi menurut usaha-bebas dari individu-individu bersangkutan. Yang tidak
berusaha tidak mempunyai hak pula untuk memperoleh sesuatu. Liberalisme menolak
sebagai sangat tidak etis sikap free
rider : benalu yang menumpang pada usaha orang lain tanpa mengeluarkan air
keringat sendiri. Orang seperti itu tidak mengakui hak sesamanya untuk
menikmati hasil jerih payahnya. Dalam teori liberalistis tentang keadilan
distributif digarisbawahi pentingnya dari prinsip hak, usaha tapi secara khusus
prinsip jasa atau prestasi.
John Rawls tentang Keadilan Distributif
John
Rawis dilahirkan di Baltimore, Maryland Amerika Serikat, tahun 1921.
pendidikannya di bidang ekonomi dan filsafat. Sesuai dengan perang dunia II ia
mengajar sebagai profesor filsafat berturut-turut di Universitas Priceton,
Universitas Cornell dan Massachusets Institute of Technology. Dari tahun 1962
ia akan mengajarkan di Universitas Hervard sampai memasuki masa pensiunnya
Bukunya yang termasyhur berjudul A
Theory of Justice (1971) salah satu buku filsafat dari abad ke 20
yang paling banyak ditanggapi dan akan dikomentari, bukan saja kalangan
filsafat. Yang ditanggapi dan akan dikomentari bukan saja kalangan filsafat
melainkan juga diluarnya seperti para ahli ekonomi dan politik. Pandangan Rawls tentang keadilan kadang-kadang disebut
egalitarianisme. Hal itu pasti tidak boleh dimengerti dalam arti
egalitarianisme radikal. Tetapi titik tolaknya memang egalitarian (prinsip
material pertama). Rawls berpendapat, kita membagi dengan adil masyarakat ,
jika kita membagi rata, kecuali ada alasan untuk membagi dengan cara lain.
Menurut Rawls, masalah keadilan distributif hanya muncul berkaitan dengan apa yang
tergantung pada kemauan manusia. Dimana manusia tidak bisa berpengaruh, disitu
juga tidak mungkin timbul soal keadilan. Yang harus dibagi dengan adil dalam
masyarakat adalah the social primary
goods (nilai-nilai sosial yang primer). Artinya, hal-hal yang sangat kita
butuhkan untuk bisa hidup pantas sebagai manusia dan warga masyarakat. Menurut
Rawls, yang termasuk nilai-nilai sosial adalah:
1.
Kebebasan-kebebasan
dasar, seperti kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan hati nurani dan
kebebasan berkumpul, integritas pribadi dan kebabasan politik;
2.
Kebebasan
bergerak dan kebebasan memilih profesi;
3.
Kuasa
dan keuntungan yang berkaitan dengan jabatan-jabatan dan posisi-posisi penuh
tanggung jawab;
4.
Pendapatan
dan milik;
5.
Dasar-dasar
sosial dari harga diri (self-respect).
Robert Nozick tentang Keadilan Distributif
Walaupun menjadi rekan sekerja sebagai profesor Filsafat di
Universitas Hevard juga dalam pemikiran tentang keadilan Robert Nozick (1938-)
bisa dilihat sebagai antipode Rawls yang terutama menjadi sasaran kritiknya
adalah prinsip perbedaan dari Rawls nama Nozick menjadi terkenal karena bukunya
Anarchy State and Utopia (1974)
yang akan menurut pemikiran liberalitisnya tentang keadilan. Teorinya tentang
keadilan distributif disebutnya “Entitlement
theory” kata “Entitlement”
yang mudah dialihbahasakan dengan tepat, barangkali bisa kita terjemahkan
sebagai “Landasan hak”
menurut Nozick kita akan memiliki sesuatu dengan adil, jika pemilikan itu
berasal dari keputusan bebas yang mempunyai landasan hak. Disini ada tiga
kemungkinan yang akan mengeluarkan tiga prinsip. Pertama prinsip “Original acquisitions”
kita akan memperoleh sesuatu untuk pertama kali dengan – misalnya – memproduksi
hal itu. Kedua prinsip “Transfer”
kita akan memiliki sesuatu karena akan diberikan oleh orang lain.
ketiga prinsip “rectifications
of injustice” kita mendapatkan seuatu kembali yang dulunya kalau
kita akan memiliki sesuatu dnegan adil karena landasan hak – misalnya kita akan
membeli sebidang tanah atau kita dihadiahkan oleh orang lain – kita akan
menjadi pemilik yang sah dan terserah pada kita saja mau diapakan milik kita
itu.
Nozick
juga mempunyai dua keberatan mendasar terhadap prinsip-prinsip (material)
keadilan distributif yang tradisional. Pertama, prinsip-prinsip itu bersifat
ahistoris dan mempunyai pola yang ditentukan sebelumnya (patterned), karena tidak memperhatikan bagaimana pembagian itu
sampai terjadi. Keberatan kedua adalah bahwa prinsip-prinsip tradisional
menerapkan pada pembagian barang suatu pola yang ditentukan sebelumnya.
Prinsip-prinsip itu semua bersifat “patterned”.
Sepintas lalu rupanya prinsip-prinsip Rawls luput dari keberatan kedua ini
karena dirumuskan dalam posisi asal (original
position) , ketika semua anggota masyarakat masih sama. Tetapi menurut
Nozick, prinsip perbedaan Rawls terkena juga keberatan kedua ini, karena
menurut pendapat Rawls kita dalam posisi asal harus memihak pada mereka yang
minimal beruntung dengan demikian kebebasan dilanggar. Kesimpulan Nozick adalah
bahwa keadilan ditegakkan, jika diakui
bakat-bakat dan sifat-sifat pribadi beserta segala konsekuensinya(seperti hasil
kerja) sebagai satu-satunya landasan hak (entitlement).
Keadilan Ekonomis
Dipandang dari perspektif sejarah, pengertian
“keadilan ekonomis” tidak selalu mendapat perhatian yang sama. Dalam zaman
modern keadilan ekonomis tidak banyak diperhatikan, sampai muncul lagi dengan
kuatnya sekitar pertengahan abad ke-19 dan berperan penting dalam
demokrasi-demokrasi parlementer sepanjang abad ke-20. Bila kita bicara tentang
keadilan ekonomis, secara konkret kita sebenarnya lebih banyak membahas
ketidakadilan ekonomis, sebab pada kenyataannya kita soroti keadaan atau
aspek-aspek masyarakat yang tidak adil. Perhatian untuk keadilan secara konkret
mengambil bentuk mengusahakan perbaikan dari keadaan tidak adil. Orang modern
yakin akan mendesaknya usaha itu, karena seperti dikatakan Immanuel Kant –jauh
lebih banyak orang menderita akibat ketidakadilan daripada akibat bencana alam.
Ketidak adilan yang disebabkan oleh ulah manusia, dan karenanya harus
diperbaiki juga oleh manusia. Keadilan harus berperan pada tahap sosial maupun
individual. Juga dalam konteks ekonomi dan bisnis. Keadilan ekonomis harus
diwujudkan dalam masyarakat, tetapi keadilan merupakan juga keutamaan yang
harus dimiliki oleh pelaku bisnis secara pribadi. Pebisnis pun tidak merupakan homo-economicus saja, manusia yang
hanya tertuju pada kependingan-diri yang ekonomis, manusia yang hanya
memperhatikan nilai-nilai ekonomis. Supaya dapat hidup dengan baik disamping
nilai-nilai ekonomis ia harus memberi tempat juga kepada nilai-nilai moral. Dan
dalam konteks ekonomi dan bisnis salah satu nilai moral terpenting adalah
keadilan.
___
0 komentar:
Posting Komentar