ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIONAL
Apabila
moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika
bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela
dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu
mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang
seimbang, selaras, dan serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok
masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu
tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan
dilaksanakan. Etika di dalam bisnis dunia internasional sudah tentu harus
disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok
yang terkait lainnya. Hubungan perdagangan dengan pengertian “asing” rupanya
masih membekas dalam bahasa Indonesia, karena salah satu arti “dagang” adalah
“orang dari negeri asing”. Dengan saran transportasi dan komunikasi yang kita
miliki sekarang, bisnis internasional bertambah penting lagi. Berulang kali
dapat kita kita dengar bahwa kini kita hidup dalam era globalisasi ekonomi:
kegiatan ekonomi mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua negara tercantum
dalam “pasar” sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang
surutnya pasar ekonomi. Gejala globalisasi ekonomi ini berakibat positif maupun
negatif. Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok sekarang ini
menampilkan juga aspek etis yang baru. Tidak mengherankan jika terutama
tahun-tahun terakhir ini diberi perhatian khusus kepada aspek-aspek etis dalam
bisnis internasional. Dalam bab ini kita akan membahas beberapa masalah moral
yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional. Secara sederhana
etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat
karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika
bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan. Etika bisnis
sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya.
Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum
sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain.
A.
Norma-norma
Moral yang umum pada taraf Internasional
Salah
satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika
filosofis adalah relatif tidaknya norma-norma moral. Kami berpendapat bahwa
pandangan yang menganggap norma-norma moral relatif saja tidak bisa
dipertahankan. Namun demikian, itu tidak berarti bahwa norma-norma moral
bersifat absolut atau tidak mutlak begitu saja. Jadi, pertanyaan yang tidak
mudah itu harus bernuansa. Masalah teoritis yang serba kompleks ini kembali
lagi pada taraf praktis dalam etika bisnis internaasional. Apa yang harus kita
lakukan ,jika norma di Negara lain berbeda dengan norma yang dianut sendiri?
Richard De George membicarakan tiga jawaban atas pertanyaan tersebut, ada 3
pandangan mengenai pertanyaan di atas sebagai berikut :
a. Menyesuaikan
Diri
Untuk
menunjukkan sikap yang tampak pada pandangan ini menggunakan peribahasa**Kalau
di Roma, bertindaklah sebagaimana dilakukan orang roma** Artinya perusahaan
harus mengikuti norma dan aturan moral yang berlaku di negara itu, yang sama
dengan peribahasa orang Indonesia **Dimana bumi dipijak, disana langit
dijunjung**. Norma-norma moral yang penting berlaku di seluruh dunia. Sedangkan
norma-norma non-moral untuk perilaku manusia bisa berbeda di berbagai tempat.
Itulah kebenaran yang terkandung dalam pandangan ini. Misalnya, norma-norma
sopan santun dan bahkan norma-norma hukum di semua tempat tidak sama. Yang di
satu tempat dituntut karena kesopanan, bisa saja di tempat lain dianggap sangat
tidak sopan.
b. Regorisme
Moral
Pandangan
kedua memilih arah terbalik. Pandangan ini dapat disebut “rigorisme moral”,
karena mau mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negerinya
sendiri. Mereka mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh
melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh
menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain. Mereka
berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak mungkin
menjadi kurang baik di tempat lain.
Kebenaran
yang dapat ditemukan dalam pandangan regorisme moral ini adalah bahwa kita
harus konsisten dalam perilaku moral kita. Norma-norma etis memang bersifat
umum. Yang buruk di satu tempat tidak mungkin menjadi baik dan terpuji di
tempat di tempat lain. Namun para penganut rigorisme moral kurang memperhatikan
bahwa situasi yang berbeda turut mempengaruhi keputusan etis.
c. Imoralisme
Naif
Menurut
pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu kita berpegang pada
norma-norma etika. Kita harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum (dan itupun
hanya sejauh ketentuan itu ditegakkan di negara bersangkutan), tetapi selain
itu, kita tidak terikat norma-norma moral. Malah jika perusahaan terlalu
memperhatikan etika, ia berada dalam posisi yang merugikan, karena daya
saingnya akan terganggu.
Kasus
: Bisnis dengan Afrika Selatan yang Rasistis
Setelah
kita mempelajari dua pandangan tentang peranan etika dalam bisnis internasional
ini, perlu kita simpulkan bahwa tidak satu pun di antaranya bisa dipertahankan.
Dalam pandangan “menyesuaikan diri” dapat kita hargai perhatian untuk peranan
situasi. Situasi yang berbeda-beda memang mempengaruhi kualitas etis suatu
perbuatan, tetapi tidak sampai menyingkirkan sifat umum dari norma-norma moral,
seperti dipikirkan pandangan pertama ini. Pandangan kedua, rigorisme moral,
terlalu ekstrem dalam menolak pengaruh situasi, sedangkan mereka benar dengan
pendapat bahwa kita tidak meninggalkan norma-norma moral di rumah, biola kita
berangkat bebisnis ke luar negeri. Norma-norma moral mempunyai sifat universal.
Dalam
etika jarang prinsip-prinsip moral bias diterapkan dengan mutlak, karena
kondisi konkret sering kali sangat kompleks. Hal ini dapat diilustrasikan pada
bisnis internasional dengan Afrika Selatan
yang mempunyai sistem politik didasarkan pada diskriminasi ras
(Apartheid) bahkan sistem Apartheid ini didasarkan atas Undang-undang Afrika
Selatan sejak 1948. Kebijakan Apartheid Afrika Selatan menimbulkan kesulitan
moral untuk perusahaan asing yang mengadakan bisnis di Afrika Selatan karena
mereka wajib mengikuti sistem Apartheid. Dalam mencari jalan keluar dari dilema
ini banyak perusahaan Barat memegang pada The Sullivan Principles yang
dirumuskan dan dipraktekkan oleh Leon Sullivan. Prinsip-prinsip Sullivan :
a. Leon
Sullivan sebagai General Motors tidak akan menerapkan undang-undang Apartheid.
b. Menghapus undang-undang Apartheid.
B.
Masalah “Dumping” dalam Bisnis Internasional
Salah
satu topik yang jelas termasuk etika bisnis internasional adalah dumping
produk, karena praktek kurang etis ini secara khusus berlangsung dalam hubungan
dengan negara lain. Yang dimaksudkan dengan dumping adalah menjual sebuah
produk dalam kuantitas besar di suatu negara lain dengan harga di bawah harga
pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya produksi. Dapat dimengerti bahwa
yang merasa keberatan terhadap praktek dumping ini bukannya para konsumen,
melainkan para produsen dari produk yang sama di negara di mana dumping
dilakukan. Para konsumen justru merasa beruntung – sekurang-kurangnya dalam
jangka pendek – karena dapat membeli produk dengan harga murah, sedangkan para
produsen menderita kerugian, karena tidak sanggup menawarkan produk dengan
harga semurah itu.
C.
Aspek etis dari Korporasi Multinasional
Fenomena
yang agak baru di atas panggung bisnis dunia adalah korporasi multinasional,
yang juga disebut korporasi transnasional. Yang dimaksudkan dengannya adalah
perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam dua negara atau lebih. Jadi,
perusahaan yang mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri, dengan demikian
belum mencapai status korporasi multi nasional (KMN), tetapi perusahaan yang
memilki pabrik di beberapa negara termasuk di dalamnya.
Bentuk
pengorganisasian KMN bisa berbeda-beda. Biasanya perusahaan-perusahaan di
negara lain sekurang-kurangnya untuk sebagian dimiliki oleh orang setempat,
sedangkan manajemen dan kebijakan bisnis yang umum ditanggung oleh pimpinan
perusahaan di negara asalnya. KMN ini untuk pertama kali muncul sekitar tahun
1950-an dan mengalami perkembangan pesat. Contoh KMN seperti Coca-Cola, Johnson
& Johnson, General Motors, IBM, Mitsubishi, Toyota, Sony,Unilever yang
memiliki kegiatan di seluruh dunia dan menguasai nasib jutaan manusia.
Di
bawah ini akan dibahas usulan De George tentang norma-norma etis yang
terpenting bagi KMN.
a. Koorporasi
multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung.
Dengan
sengaja mengakibatkan kerugian bagi orang lain selalu merupakan tindakan yang
tidak etis. Norma pertama ini mengatakan bahwa suatu tindakan tidak etis, bila
KMN dengan tahu dan mau mengakibatkan kerugian bagi negara biarpun tidak dengan
sengaja atau langsung- menurut keadilan kompensatoris ia wajib memberi ganti
rugi.
b. Koorporasi
multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian bagi
negara dimana mereka beroperasi.
Hampir
semua kegiatan manusia mempunyai akibat jelek,bisnis tidak tekecuali. Norma
kedua menuntut secara menyeluruh akibat- akibat baik melebihi akibat- akibat
jelek. Norma ini tidak membatasi diri pada segi negatif, tapi memerintahkan
sesuatu yang positif da ditegasakan lagi bahwa yang positif harus melebihi yang
negatif.
c. Dengan kegiatannya korporasi
multinasional itu harus memberi kontribusi kepada pembangunan negara dimana dia
beroperasi.
KMN
harus menyumbangkan juga pada pembangunan negara berkmbang. KMN harus bersedia
melakukan alih teknologi dan alih keahlian.
d. Koorporasi multinasional harus
menghormati HAM dari semua karyawannya.
KMN
harus memperhatikan tentang upah dan kondisi kerja di negara berkembang.
e. Sejauh kebudayaan setempat tidak
melanggar norma-norma etis, korporasi multinasional harus menghormati
kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan menantangnya.
KMN
akan merugikan negara dimana ia beroperasi, jika ia tidak menghormati
kebudayaan setempat.KMN harus menyesuaikan diri dengan nilai- nilai budaya
stempat dan tidak memaksakan nilai-nilainya sendiri.
f. Koorporasi multinasional harus
membayar pajak yang “fair”
Setiap
perusahaan multinasional harus membayar pajak menurut tarif yang telah
ditentukan dalam suatu negara. KMN akan mendukung dibuatnya dan
dilaksanakannnya peraturan internasional untuk menentukan pembayaran pajak oleh
perusahaan- perusahaan internasional.
g. Koorporsi
multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam mengembangkn
dan menegakkan “backgroud institutions” yang tepat
Yang
dimaksud “background institutions” adalah lembaga- lembaga yang mengatur serta
memperkuat kegiatan ekonomi dan industri suatu negara.
h. Negara yang memiliki mayoritas sham
sebuah perusahaan harus memikul tanggung jawab moral atas kegiatan dan
kegagalan perusahaan tersebut.
Norma
ini mengatakan bahwa tanggung jawab moral harus dipikul oleh pemilik mayoritas
saham.
i. Jika suatu korporasi multinasional
membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib menjaga supaya pabrik itu aman
dan dioperasikan dengan aman.
Yang
membangun pabrik- pabrik berisiko tinggi harus juga merundingka prosedur-
prosedur keamanan bagi mereka yang menjalankan pabrik tersebut. KMN bertanggung
jawab untuk membangun pabrik yang aman dan melatih serta membina secara sebaik
mungkin mereka yang akan mengoperasikan pabrik itu.
j. Dalam mengalihkan teknologi berisiko
tinggi kepada negara berkembang, korporasi multinasional wajib merancang
kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman
dalam negara yang belum berpengalaman.
Menurut
norma ini prioritas harus diberikan kepada keamanan. Kalau mungkin, teknologi
harus dirancang sesuai dengan kebudayaan dan kondisi stempat, sehingga terjamin
keamanan optimal.Sepuluh norma tersebut bisa bermanfaat untuk menciptakan suatu
kerangka moral bagi kegiatan- kegiatan KMN
D.
Masalah
Korupsi dalam taraf Internasional
Korupsi
dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada taraf internasional, namun
perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi dalam literatur etika bisnis
terutama diarahkan kepada konteks internasional.
Skandal
Suap Leockheed
Lockheed
adalah produsen pesawat terbang Amerika Serikat yang melakukan suap ke berbagai
Negara dengan tujuan agar produknya dapat di pasarkan, lalu terbulaka kasus ini
dan dimuat diberbagai media massa yang menimbulkan reaksi cukub hebat.
Lockheed
merasa keberatan dengan Undang-undang anti suap di Amerika. Terdapat dua
keberatan yang sering ditemukan yaitu :
1.
Undang-undang ini mempraktekkan semacam
imprealisme etis.
2.
Undang-undang ini merugikan bisnis
Amerika, karena melemahkan daya saingnya.
Mengapa
pemakaian uang suap bertentangan dengan etika?
Ada
beberapa alasan mengapa mengetahui pemakaian uang suap bertentangn dengan
etika.
1.
Bahwa praktek suap itu melanggar etika
pasar. Denagan adanya praktek suap,daya – daya pasar dilumpuhkan dan para
pesaing yang sedikit pun dapat mempengaruhi proses penjualan.
2.
Bahwa orang yang tidak berhak, mendapat
imbalan juga.
3.
Banyak kasus lain di mana uang suap
diberikan dalam keadaan kelangkaan. Pembagian barang langka dengan menempuh
praktek suap mengakibatkan bahwa barang itu diterima oleh orang yng tidak
berhak menerimanya, sedangkan orang lain yang berhak tidak kebagian.
4.
Bahwa praktek suap mengundang untuk
melakukan perbuatan tidak etis dan ilegal lainnya. Baik perusahaan yang memberi
uang suap maupun orang atau instansi yang menerimanya tidak bisa membukukkan
uang suap itu seperti mestinya.
Internasionalisasi
bisnis yang semakin mencolok sekarang ini menampilkan juga aspek etis yang
baru. Tidak mengherankan jika terutama tahun-tahun terakhir ini diberi
perhatian khusus kepada aspek-aspek etis dalam bisnis internasional. Dalam bab
ini kita akan membahas beberapa masalah moral yang khusus berkaitan dengan
bisnis pada taraf internasional.
CONTOH
KASUS ETIKA BISNIS INTERNASIONAL INDOMIE DI TAIWAN
Akhir-akhir
ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis
terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi
kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan
diri dalam pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing
untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar. Dalam persaingan antar perusahaan
terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi
pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi
persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari Indonesia yang
ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah serta kualitas yang tidak kalah
dari produk-produk lainnya.
Kasus
Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut
mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari
peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate
dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh
digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan
telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga
untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie. Kasus Indomie kini
mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM
Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait
produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX
DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR,
Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan
tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang
mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam
produk Indomie.
A
Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang
terkandung di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid
(asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk
dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam
pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal
0,15%. Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya
bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar
Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie
instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas
wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.
Tetapi
bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg
per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan
lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa
mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker. Menurut
Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision,
produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi
mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota
Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di
Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah
kasus Indomie ini.
0 komentar:
Posting Komentar